ᴀᴅᴀᴛ ᴅᴀʟᴇᴍ ᴛᴀᴍʙʟɪɴɢᴀɴ

 

ᴅᴜʟᴜ, ᴋɪɴɪ, ᴅᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴀᴋᴀɴ ᴅᴀᴛᴀɴɢ

“𝘏𝘢𝘳𝘢𝘱 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘵𝘶𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪.

𝘈𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵, 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘪𝘢𝘨𝘢𝘮 𝘢𝘯𝘶𝘨𝘳𝘢𝘩 𝘗𝘢𝘥𝘶𝘬𝘢 𝘚𝘳𝘪 𝘔𝘢𝘩𝘢𝘳𝘢𝘫𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬 𝘋𝘦𝘴𝘢 𝘛𝘢𝘮𝘣𝘭𝘪𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘸𝘪𝘭𝘢𝘺𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘳𝘢𝘩𝘮𝘢𝘯𝘢, 𝘬𝘦𝘴𝘢𝘵𝘳𝘪𝘢, 𝘸𝘦𝘴𝘪𝘢, 𝘴𝘶𝘥𝘳𝘢, 𝘨𝘳𝘢𝘩𝘢𝘴𝘵𝘢 𝘸𝘪𝘬𝘶, 𝘭𝘢𝘬𝘪-𝘭𝘢𝘬𝘪, 𝘱𝘦𝘳𝘦𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯, 𝘩𝘢𝘮𝘣𝘢 𝘳𝘢𝘫𝘢, 𝘴𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢𝘵𝘪, 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘦𝘵𝘢 Ç𝘪𝘸𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘉𝘶𝘥𝘥𝘩𝘢, 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘉𝘩𝘢𝘵𝘢𝘳𝘢, 𝘢𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘪𝘢 𝘵𝘪𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩, 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘯𝘨𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘪𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘥𝘢. 𝘗𝘶𝘵𝘢𝘳𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘵𝘢𝘳𝘪𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘶𝘴𝘶𝘴𝘯𝘺𝘢, 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘴𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢, 𝘵𝘢𝘳𝘪𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘨𝘪𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢, 𝘱𝘢𝘵𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢. 𝘏𝘢𝘣𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘪𝘸𝘢𝘯𝘺𝘢..”

Demikian kutipan dari prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Suradipha, raja Bali kuno pada tahun 1119 Masehi, yang merupakan anugrah Sri Maharaja kepada penduduk Tamblingan dan seluruh wilayahnya.

Kenapa sang Raja memberikan anugrah perlindungan kepada masyarakat dan wilayah Tamblingan?

Keistimewaan apa yang dimiliki oleh Masyarakat Adat Dalem Tamblingan?

“𝘑𝘢𝘯𝘪 𝘤𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘢𝘯𝘨 𝘎𝘢𝘮𝘢 𝘛𝘪𝘳𝘵𝘢𝘯𝘦 𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘏𝘪𝘯𝘥𝘶 𝘎𝘰𝘣𝘦𝘥, 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘩 𝘸𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘈𝘨𝘶𝘯𝘨, 𝘸𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘴𝘢, 𝘸𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘴𝘶𝘭…”

“Sekarang anakku lestarikan Gama Tirta nya di Gobleg, begitu pula balian Agung, balian sasa, balian susul…dst.”

Demikian kutipan dari Babad Hindu Gobed tentang bagaimana masyarakat Adat Dalem Tamblingan meninggalkan wilayah danau Tamblingan dan pindah menuju ke daerah dibawahnya untuk seterusnya bermukim disana.

Pada tulisan diatas, telah kita ketahui bagaimana Raja Sri Suradipa membuat prasasti pada abad ke 10, untuk melindungi kawasan Tamblingan beserta masyarakatnya.

Dan kemudian sekitar abad ke 14, masyarakat Adat Dalem Tamblingan memindahkan pemukimannya menuju daerah dibawahnya, yang kemudian menyebar hingga kini menjadi Catur Desa.

𝘒𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘯𝘥𝘢𝘩?

Dari kutipan babad diatas, disebutkan mengenai Gama Tirta yang merupakan kepercayaan masyarakat Adat Dalem Tamblingan yang menggunakan sarana Air (Tirta) sebagai dasar dari segala ritual, yang dalam bahasa kekinian kita sebut dengan “𝘔𝘦𝘮𝘶𝘭𝘪𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘪𝘳”

Gama Tirta tidak hanya dilakoni dalam hal ritual saja, tetapi juga dalam setiap laku, setiap hembusan nafas masyarakat kita. Karena air adalah sumber kehidupan.

Oleh karena itu, kawasan danau Tamblingan dan Alas Mertajati yang merupakan sumber air, tidak hanya bagi Catur Desa, tetapi juga hingga ke daerah hilir, harus dijaga kesucian dan kelestariannya dengan tidak menjadikannya sebagai daerah pemukiman.

Tidak hanya berhenti sampai disana. Kita sebagai masyarakat Adat Dalem Tamblingan, masyarakat Pemulia Air yang menjadikan Alas Mertajati sebagai sumber hidup yang sesungguhnya harus tetap menjaga spirit yang telah kita warisi dari para leluhur kita untuk tetap menjaga kesucian dan kelestarian Alas Mertajati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *