Memetakan Wilayah Adat Les Penuktukan, Melindungi Sumber Kehidupan Masyarakat Adat

Sosialisasi Pemetaan Partisipatif Desa Adat Les Penuktukan

Oleh Komang Era Patrisya

Pemetaan desa adat di Bali menjadi keharusan untuk mewujudkan desa adat yang berdaulat atas ruang hidup, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Pemetaan wilayah adat menjadi salah satu mandat organisasi. Pemetaan wilayah adat menjadi langkah pertama sebagai bagian dari perjuangan Masyarakat Adat untuk melindungi wilayah adat.

Penyarikan Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Ketut Sumarta, dalam acara sosialisasi pemetaan partispatif di Desa Adat Les Penuktukan belum lama ini menyampaikan tentang pentingnya kedaulatan Masyarakat Adat tas ruang hidupnya.

Ketut Sumarta menegaskan pentingnya pemetaan desa adat di Bali. Ia menekankan tidak ada sejengkal tanah pun di Bali yang tidak dipetakan menjadi wewidangan desa adat. Untuk mewujudkan hal ini, sebut Ketut Sumarta, Majelis Desa Adat mempunyai program utama untuk melakukan pendampingan terhadap desa adat guna melakukan pemetaan agar ke depannya masing-masing desa adat memiliki peta geo-spasial.

“Semua ini kita lakukan terkait dengan kesucian, tidak hanya tentang motif ekonomi,” jelasnya.

Ida Bagus Dana dari Dinas Pekerjan Umum Penataan Ruang Bali menyarankan apabila  melakukan pemetaan, sebaiknya adakan koordinasi yang baik dengan desa penyanding terkait dengan batas-batas pantai, batas-batas hutan. Menurutnya, ini sangat penting untuk dilakukan sehingga menghasilkan keputusan batas yang pasti agar ke depannya tidak terjadi masalah.

Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo menjelaskan bahwa dalam proses pemetaan partisipatif, ada tiga proses yang biasanya dilakukan. Pertama, sosialisasi. Pada tahap sosialisasi ini, sebut Kasmita, penting dilakukan koordinasi dengan pihak yang terlibat dan terkait dengan lokasi pemetaan desa adat.

Setelah itu, imbuhnya, tahap proses yang kedua adalah pelaksanaan dan yang terakhir barulah tahap pengolahan data dan penyajian hasil.

“Semua proses ini dilakukan dengan menghadirkan atau melibatkan desa adat yang bersandingan, termasuk juga dengan pemerintah,” ujar Kasmita disela acara sosialisasi pemetaan partisipatif di Desa Adat Les Penuktukan.

Pemetaan di Wilayah Adat Les Penuktukan
Masyarakat Adat Desa Les Penuktukan menyambut baik sosialisasi pemetaan wilayah adat. Jro Pasek, salah seorang perwakilan dari Desa Adat Les Penuktukan berterimakasih atas sosialisasi yang dilakukan. Ia juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada AMAN Bali yang akan mendampingi pemetaan wilayah adat Desa Adat Les Penuktukan.

Jro Pasek berharap Desa Adat Les Penuktukan bisa menjadi contoh bagi desa-desa adat lain yang belum melakukan pemetaan wewidangan desa adat. “Semoga ini langkah yang baik untuk pemetaan desa adat Les Penuktukan dan desa adat lainnya di Bali,” katanya penuh harap.

Dalam pemetaan partisipatif ini, Desa adat Les Penuktukan melibatkan 24 orang yang turut serta dalam pemetaan spasial dan pemetaan sosial budaya, 12 orang berasal dari desa Les dan 12 orang berasal dari desa Penuktukan yang terdiri dari Peduluan desa, prajuru adat, dan juga kelian banjar adat.

Desa Adat Les Penuktukan adalah desa adat tertua di Kecamatan Tejakula, Kebupatan Singaraja, Bali. Di mana dalam satuan wilayah adat ini terdiri dari dua banjar adat atau desa dinas yaitu: Les dan Penuktukan. Masing-masing Banjar adat mengelompokkan lagi ke dalam satuan sosial yang lebih kecil yang disebut dengan “Tempek”. Di Banjar Adat Les terdapat 33 tempek, dan di Banjar Adat Penuktukan terdapat 27 Tempek.

Wewidangan Desa Adat Les – Penuktukan merupakan kesatuan komunitas Masyarakat Adat yang tumbuh berkembang serta memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli yang mengatur rumah tangganya sendiri.

Desa adat Les – Penuktukan berdasarkan bukti petunjuk yang ada dapat diklasifikasikan sebagai Desa Adat Baliaga, yang diperkirakan sudah ada sejak sebelum abad ke-8. Beberapa bukti petunjuk di antaranya dapat dilihat dari keberadaan sejumlah Pura Kahyangan Desa dan Kahyangan Tiga.  Yang membedakan dengan desa adat lainnya adalah dengan adanya prasasti yang tersimpan di Pura Sanggah Desa atau Merajan Desa berangka Tahun Saka Warsa 829 ( Masehi 907).

Bukti lain yang menandakan Desa Adat Les – Panuktukan sebagai Desa Adat Tua Bali Apanaga adalah dilihat dari sistem pemerintahannya yang dipimpin oleh paduluan desa yang dipilih secara ngeririg saketurunan krama nem likur yang artinya sitem pergantiannya berurutan dari 26 orang yang menjadi perangkat adat, misal ada salah satu 26 perangkat adat yang meninggal, maka keturunan langsung yang akan menggantikan tetapi akan memulai dari posisi yang paling bawah, ngeririg disini bisa diartikan berurutan secara siklus dari yang paling bawah naik ke atas, yang atas kembali ke bawah. Sedangkan Paduluan Jro Pasek dipilih melalui musyawarah dan Jro Penyarikan dipilih dari keturunnya yang langsung menjadi Penyarikan.

Kedudukan dan Keputusan Paduluan Desa bersifat kolektif kolegial, yang artinya sistem kepemimpinan yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam mengeluarkan keputusan atau kebijakan melalui mekanisme musyawarah atau pemungutan suara. Sistem ini mengedepankan semangat kebersamaan dan koordinasi antara satu pimpinan dengan pimpinan lainnya.

Wilayah Adat Sumber Kehidupan

Selain berada di ketinggian, wilayah Desa Adat Les – Penuktukan juga berada di wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan laut. Dalam filosofi bali disebut dengan “ Nyegara Gunung”. Di mana keberadaan gunung (dalam hal ini adalah hutan) dan laut berjarak cukup dekat. Antara laut (segara) dan gunung (hutan) adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh karena itu setiap tindakan yang dilakukan di gunung (hutan) akan berdampak pada laut (segara). Demikian pula sebaliknya.

Di desa adat Les Penuktukan ada sebuah ritual yang disebut Labuh Gentuh. Ngelabuh Gentuh adalah prosesi ritual tawur yang bertujuan untuk memohon keharmonisan alam. Prosesi ini menggunakan sarana upacara berupa hewan kurban, fungsi upacara sesungguhnya mengingatkan umat agar selalu melakukan atau menjaga kelestarian alam. Selain itu, Desa Adat Les Penuktukan setiap satu tahun sekali melakukan ritual adat yang disebut dengan sedekah laut sebagai wujud terima kasih masyarakat kepada laut yang telah memberi penghidupan. Upacara ini dilakukan oleh seluruh keluarga nelayan dengan bersembahyang di pura dalem dengan menyajikan babi guling dan berbagai sesajen lainnya yang kemudian dihanyutkan ke laut.

Karena berada di wilayah gunung dan pesisir, mayoritas warga desa adat les penuktukan adalah petani dan nelayan. Desa adat Les Penuktukan sendiri memiliki Sumber Daya alam yang sangat melimpah, beberapa sumber penghidupan warga Desa Adat Les Penuktukan adalah kelapa, coklat, cengkeh, mangga, rambutan, lontar (diolah menjadi gula juruh, tuak dan arak), aren (diolah menjadi gula aren, tuak, dan arak). garam, ikan laut.

Selain itu, ada banyak sumber pangan di desa adat Les Penuktukan, ada pula beberapa tanaman obat. Di antaranya adalah kantawali atau brotowali untuk mengobati rematik, kecibeling untuk menurunkan gula darah, jambu biji merah untuk menaikkan trombosit darah, sembung untuk obat penurun panas dan demam.

Ada pula tanaman jarak yang berfungsi sebagai obat sakit gigi, mengkudu untuk mengobati panas dalam, sambiroto untuk penurun panas, jahe untuk mengobati masuk angin, kencur untuk mengobati penyakit batuk. Kunyit bisa digunakan untuk mengobati penyakit maag, daun delima biasanya untuk mengobati panas dalam, sementara daun intaran sebagai antiseptik. Lidah buaya untuk penyubur rambut, daun nangka kuning untuk masker, boreh untuk ibu menyusui, dan masih banyak lagi.

***

Menurut Jro Pasek, desa adat perlu memiliki data dan peta, baik peta wewidangan maupun peta potensi. Dengan adanya data dan peta yang akurat, sebutnya, desa adat akan dapat membangun perencanaan yang lebih baik untuk menjamin kedaulatan atas ruang hidup dan penghidupan bagi Masyarakat Adat setempat.

Oleh karena itu, Desa Adat Les Penuktukan sebagai salah satu anggota AMAN Bali dengan dukungan program kerja dari Pengurus Besar AMAN, akan melakukan pemetaan wewidangan desa adat untuk memastikan kejelasan batas-batas dan potensi yang dimiliki baik peta fisik/spasial maupun peta sosial budaya secara partisipatif oleh Masyarakat Adat Desa Adat Les Penuktukan.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Bali

Jambore Pemuda Adat dan Fasilitator Pendidikan Adat 2023 : Berbagi Praktik Baik, Merawat ilmu Pulang

Jambore Pemuda Adat dan Fasilitator Pendidikan Adat 2023

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui badan otonomnya yang mengurusi pendidikan adat yaitu Yayasan Pendidikan Masyarakat Adat Nusantara (YPMAN) bergerak dalam perintisan dan pengorganisasian sekolah adat yang didirikan oleh PD AMAN di seluruh Nusantara. YPMAN memandang pentingnya sharing forum di antara para pemuda dan fasilitator sekolah adat untuk membincangkan solusi bagi permasalahan yang muncul atau dihadapi oleh masing-masing sekolah adat. Bertolak dari pemikiran tersebut, maka diadakan temu pemuda serta fasilitator pendidikan adat yang kali ini dilaksanakan untuk sekolah adat di seluruh Region Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

Kegiatan temu pemuda serta fasilitator pendidikan adat yang dilaksakan pada tanggal 23-24 desember di Pesinauan – Sekolah Adat Osing ini mengambil bentuk Jambore dengan harapan pemuda tetap dekat dengan lingkungan saat beraktivitas dan keakraban bisa segera terjalin di alam bebas yang tidak terkesan formal, Ibu Wiwin Indiarti selaku penanggungjawab kegiatan sekaligus Ketua BPH AMAN Osing mengatakan dengan mengambil bentuk jambore sharing-sharing terkait permasalahan dan kebutuhan yang merekan hadapi di sekolah adat masing-masing dengan konteks kewilayahan masing-masing bisa dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien.

Selain menjadi ajang tegur sapa para pemuda dan fasilitator pendidikan adat di seluruh Region Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat, kegiatan Jambore Pemuda Adat dan Fasilitator Pendidikan Adat ini bertujuan untuk menjadi sarana berbagi praktik baik tentang penyelenggaraan pendidikan adat yang efektif dan efisien berdasarkan karakter wilayah masing-masing.

Dalam kegiatannya, para peserta yang berasal dari sekolah adat dari masing-masing daerah saling berbagi cerita dan pengalaman mereka dalam menjalankan sekolah adat di daerah mereka. Tidak hanya berbagi tentang praktik baik yang telah dilaksanakan, tapi juga berbagi tentang permasalahan dan hambatan yang dihadapi selama perjalanan mengelola sekolah adat di daerah mereka masing-masing. Ada yang terkendala karena terbatasnya Fasilitator Pendidikan Adat, kurangnya minat dari peserta untuk mengikuti Pendidikan Adat, ada pula yang kesulitan untuk mengatur jadwal belajar mengajar, dan sebagian besar peserta mengatakan masalah yang mereka hadapi adalah tidak adanya ruang atau tempat berkumpul, meskipun pada dasarnya pendidikan adat bisa dilaksanakan dimana saja dan kapan saja, “dulu saya merasa memiliki bangunan tempat belajar tidak terlalu penting, tapi setelah berkunjung ke Pesinauan ini, saya menyadari bahwa memiliki ruang tempat belajar merupakan hal yang cukup penting untuk berkumpul dan menarik minat masyarakat” ucap Sucia Lisdamara dari Sekolah Adat Birawa.

Peserta Bali yakni perwakilan dari Komunitas Adat Dalem Tamblingan Dan Komunitas Adat Pedawa berbagi tentang keresahan yang komunitas adat mereka rasakan yang menjadi alasan keinginan untuk mendirikan sekolah adat. Kurangnya pengetahuan, kesadaran dan pemahaman masyarakat terutama generasi muda akan nilai-nilai adat dan budaya mereka menjadi salah satu alasan Komunitas Masyarakat Adat Dalem Tamblingan untuk membentuk Sekolah Adat. Selain berbagi keresahan semua peserta juga menuliskan harapan untuk sekolah Adat mereka 5 – 10 tahun ke depan, Putu Yuli Supriyandana selaku perwakilan Komuntitas Adat Pedawa menyampaikan harapannya semoga terwujud dan terlaksananya program sekolah Adat di Desa Pedawa serta tersedianya sarana dan prasarana sekolah adat di Desa Pedawa.

 

Masyarakat Adat Bali Perjuangkan Alas Mertajati Sebagai Hutan Adat

Oleh Komang Era Patrisya

“Masyarakat Adat Dalem Tamblingan menjaga Alas Mertajati bukan hanya untuk kami, tapi juga untuk Masyarakat Bali.”

Pernyataan ini disampaikan oleh seorang anak muda dari komunitas Masyarakat Adat Dalem Tamblingan dalam diskusi “Mempertahankan Hak dan Ruang Hidup,” di Taman Baca Kesiman, Denpasar, pada 10 Desember 2023.

Anak muda bernama Komang Era Patrisya ini menceritakan bagaimana perjuangan Masyarakat Adat Dalem Tamblingan dalam memperjuangkan Alas Mertajati menjadi hutan adat.

Komang menyatakan kondisi hutan yang disebut Alas Mertajati tersebut meskipun terlihat asri, namun sesungguhnya sedang tidak baik-baik saja. Banyak terjadi penebangan hutan dan juga pemburuan liar di Alas Mertajati. Dikatakannya, Alas Mertajati merupakan sumber kehidupan bagi Masyarakat Adat Dalem Tamblingan.

“Alas Mertajati merupakan bagian dari Cagar Alam Batu Karu yang merupakan penyuplai 1/3 air di Bali,” ungkapnya.

Komang menjelaskan sejak ribuan tahun lalu, Alas Mertajati telah menjadi kawasan yang disucikan dan dijaga kelestariannya oleh leluhur Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Bali.

“Kami ingin Alas Mertajati lestari selamanya,” tandasnya.

Pernyataan Komang ini mendapat dukungan dari perwakilan Masyarakat Adat dari berbagai desa yang hadir di acara diskusi dalam rangka peringatan Hari HAM 2023. Peringatan hari HAM di Bali dilaksanakan selama dua hari yaitu 3 Desember dan 10 Desember 2023, dengan mengambil tema “HAM di Pulau Surga: Rintangan, Perjuangan, dan Harapan”.

Di acara yang melibakan AMAN Bali ini, banyak perwakilan Masyarakat Adat yang menyampaikan pengalaman mereka dalam memperjuangkan ruang hidupnya. Seperti di TWA Gunung Batur Bukit Payang, di mana petani yang telah lama tinggal turun temurun di hutan terancam tergusur oleh pengusaha wisata yang mendapat izin konsesi kawasan hutan.

Selain itu, ada juga cerita dari perwakilan Masyarakat Adat di Desa Bugbug Karangasem yang sedang mempertahankan kawasan suci mereka dari pembangunan resort.

PJ Ketua PW AMAN Bali, Ni Made Puriati menyatakan kegiatan peringatan hari HAM ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran atas kasus pelanggaran HAM dan pentingnya perlindungan HAM di Bali.

Selain itu, melalui kegiatan ini mereka ingin mengajak publik untuk ikut dalam memperjuangkan HAM serta bersolidaritas pada penyintas kekerasan dan pelanggaran HAM di Bali. Kemudian, turut menyuarakan desakan kepada pemerintah, aparat penegak hukum, dan pihak berwenang lainnya untuk menjamin dan memastikan penyelenggaraan pemerintahan untuk kembali pada HAM dan konstitusi.

Ni Made Puriati menerangkan sejak AMAN Bali diaktifkan kembali pada April 2023, berbagai kegiatan telah mereka lakukan, baik sebagai penyelenggara maupun sebagai pihak yang diundang atau berkolaborasi dalam sebuah kegiatan bersama. Ni Made menyebut seperti kegiatan peringatan HAM di bulan Desember 2023.

“Penting bagi AMAN Bali mulai terlibat aktif dalam berbagai kegiatan, terutama yang sejalan dengan visi dan misi AMAN,” terangnya.

Lembaga Filantropi Amerika Kunjungi Komunitas Masyarakat Adat di Bali

Oleh  Komang Era Patrisya

Sebuah Lembaga Filantropi yang berpusat di Amerika : Thousand Current mengunjungi komunitas Masyarakat Adat di desa Adat Tenganan Pegringsingan dan desa Adat Catur di Bali pada 11-12 November 2023.

Dalam kunjungannya selama dua hari di Bali, tiga personil Thousand Current didampingi Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Pengurus Wilayah AMAN Bali.

Personil Thousand Current menyatakan cukup senang bisa bertemu langsung dengan Masyarakat Adat di Bali.

Rachel Arini, salah seorang personil Thousand Current, menyatakan tujuan dari kunjungan mereka ke komunitas Masyarakat Adat di Bali untuk melihat, berdiskusi dan mengenal lebih dekat tentang Masyarakat Adat.

“Disini, kami ingin belajar dari komunitas Masyarakat Adat, bagaimana cara saling menjaga komunitasnya, termasuk apa saja tantangan ke depan dan kesempatan yang mereka punya di komunitas,” kata Rachel disela kunjungannya di Bali pada Sabtu (11/11/2023).

Rachel mengaku selama berada di Bali, mereka terkesan dengan sambutan Masyarakat Adat Bali yang sangat baik.

Selama berada di Bali, Thousand Current mengawali kunjungannya dengan mendatangi desa Adat Tenganan Pegringsingan. Desa ini tergolong desa adat tua di Bali yang terletak di Kabupaten Karangasem. Desa Tenganan Pegringsingan dikenal dengan tradisi adat dan budayanya yang masih terjaga sampai saat ini. Selain itu, Tenganan Pegringsingan juga termasuk desa yang cukup kuat mengatur dan membentengi dirinya sendiri.

Setelah mengunjungi desa Adat Tenganan Pegringsingan, perwakilan Thousand Current melanjutkan kunjungannya ke Desa Adat Catur.

Desa Adat Catur terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa Adat Catur merupakan salah satu dari tujuh desa adat anggota AMAN Bali yang turut serta dalam pembentukan AMAN Bali.

Di desa Adat Catur, perwakilan dari pihak Thousand Current sempat berdiskusi dengan tokoh Masyarakat Adat. Setelah itu, pihak Thousand Current beserta pengurus PB AMAN dan PW AMAN Bali mengunjungi perkebunan kopi arabika dan jeruk di Bali. Desa Adat Catur merupakan salah satu sentra perkebunan kopi arabika dan jeruk di Bali.

Rachel menyatakan berdasarkan hasil diskusi mereka dengan AMAN, ada beberapa tantangan internal yang diidentifikasi, salah satunya adalah bagaimana memastikan bahwa AMAN bisa bergerak, berkoordinasi dan melibatkan anggotanya yang banyak sekali dengan berkunjung dan mendengarkan cerita serta tantangan-tantangan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas AMAN. Dengan demikian, katanya, secara langsung AMAN dapat mengetahui tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan ke depannya.

Kehormatan bagi Masyarakat Adat Bali

Pj Ketua PW AMAN Bali, Ni Made Puriati menyatakan senang mendapat kunjungan dari Thousand Current.

“Kunjungan dari Thousand Current ini suatu kehormatan bagi kami disini,” kata Ni Made Puriati saat menerima kunjungan perwakilan Thousand Current di Bali pada Sabtu (11/11/2023).

Pada kesempatan ini, Ni Made Puriati mencoba menjelaskan tentang profil desa adat yang dikunjungi Thousand Current,  salah satunya profil desa adat Tenganan Pegringsingan.

Perempuan yang akrab disapa Denik ini menerangkan desa adat Tenganan Pegringsingan dikenal dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Dari 917,2 hektar luas wilayah desa adatnya, 583.035 hektarnya diantaranya merupakan hutan dan tegalan (kebun).

Sumberdaya lain yang dimiliki Tenganan Pegringsingan adalah 350 liter/detik debit air sungai Buhu. Ni Made Puriati menyebut air sungai ini biasanya digunakan untuk mengairi lahan sawah yang ada di sekitarnya, terutama yang tergabung dalam areal subak Tenganan Pegringangan dan daerah di bawahnya. Di samping itu, air sungai juga digunakan untuk mandi dan mencuci.  Bukan hanya untuk kebutuhan harian.

Ni Made Puriati menuturkan sumberdaya air yang dimiliki ternyata juga bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Mikro hidro ini dibangun pada tahun 2007, dengan tujuan utama untuk membantu Masyarakat Adat Tenganan Pegringsingan dalam mengelola hasil panennya menggunakan energi ramah lingkungan. Sampai saat ini, mikro hidro masih berfungsi dengan baik, walaupun tidak dapat lagi menggerakan penyosohan beras mereka.

Terkait hal ini, Ni Made Puriati mengajak komunitas Masyarakat Adat untuk saling berkolaborasi dan bersinergi untuk menjaga tradisi, budaya dan wilayah adatnya.

Potensi

Gusti Mangku Rupa selaku Pemimpin Desa Adat Catur dalam penjelasannya kepada perwakilan Thousand Current menyatakan masing-masing desa di Bali memiliki adat-istiadat yang berbeda. Hal ini dikatakan Gusti Mangku Rupa sebagai sebuah potensi karena meskipun memiliki adat istiadat yang berbeda tetapi semua desa adat di Bali memiliki satu tujuan yang sama yaitu mempertahankan adatnya dengan caranya sendiri yang disebut dengan istilah Dresta.

Gusti Mangku Rupa menjelaskan tentang konsep ajaran Tri Hita Karana kepada perwakilan Thousand Current. Dokumentasi AMAN

Gusti Mangku Rupa menjelaskan tentang konsep ajaran Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan manusia.

Ia mencontohkan hubungan manusia dengan manusia adalah beraliansi dengan komunitas-komunitas Masyarakat Adat di Nusantara.  Gusti  berharap keberadaan desa adat di Bali bisa tetap eksis, karena desa adat yang di dalamnya terdapat budaya merupakan sebuah potensi  untuk bisa berkehidupan sosial, berkehidupan ekonomi, berkehidupan budaya, pertahanan dan  keamanan.

Ditempat terpisah, Tokoh Masyarakat Adat Tenganan Pegringsingan, Nyoman Sadra menyatakan kepada perwakilan Thousand Current bahwa tradisi yang ada di Bali saat ini telah terjadi pergeseran sejak zaman dulu hingga sekarang. Hal tersebut dikarenakan pemahaman tentang budaya lokal yang sudah berkurang.

Saat ditanya apakah budaya di Desa Adat Tenganan Pegringsingan bisa bertahan ke depannya, Nyoman Sadra menyatakan itu semua tergantung apakah generasi mudanya mampu memahami konsep-konsep kehidupan yang dipesankan lewat ritual, simbol bahkan pola rumah, pola kain gringsing.

“Kalau ini tidak dipahami oleh generasi kita, bahkan tetua adat pun banyak yang tidak paham akan kosnep ini, bagaimana kita bisa bertahan. Rohnya akan hilang,” kata Nyoman Sadra.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Bali

Gerai Nusantara Resmi Buka Cabang di Bali

Badung, Bali, www.aman.or.id – Gerai Nusantara merupakan rumahnya produk Masyarakat Adat, salah satu unit usaha KPAM yang merupakan badan otomnom Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hari ini (Rabu, 20 November 2019) resmi membuka cabang di Bali. Pembukaan cabang ini dikemas dalam bentuk soft opening yang bertepatan dengan Peringatan Hari Kepahlawanan I Gede Ngurah Rai, sekaligus memperingati Bhatara Sri Sedana, yang jatuh pada tanggal 20 November 2019.

Rangkaian acara dihelat di Kawasan Geo Open Space, Jl. Raya Kedampang 77X Kerobokan Kelod, Badung, Bali.

I Made Suarnatha, pemilik Geo Open Space sekaligus juga Pelaksana Tugas (Plt) Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Wilayah Bali dalam sambutannya mengatakan bahwa dipilihnya 20 November sebagai hari pembukaan merupakan pilihan yang tepat.

“Hari ini bertepatan dengan peringatan Sedana, yang dipercayai sebagai waktu yang baik untuk mengalirnya energi kemakmuran. Di saat yang bersamaan, hari ini juga merupakan peringatan hari lahir I Gusti Ngurah Rai, pahlawan nasional yang berasal dari Bali,” kata Suarnatha.

 I Made Suarnatha, Ketua BPH AMAN Wilayah Bali sekaligus pemilik Geo Open Space saat memberikan sambutannya dalam soft opening Gerai Nusantara / Dok: AMAN

Selain mengucapkan selamat terhadap pembukaan cabang baru Gerai Nusantara, sorotan lain Suarnatha adalah terkait nasib petani di Bali yang dinilai sebagai pahlawan tanpa tanda jasa karena kurangnya perhatian. “Bali sudah dikepung dengan pariwisata dan perhotelan, namun nasib petani masih kurang diperhatikan,” sorot Suarnatha. Itu mengapa ia berharap agar berdirinya cabang Gerai Nusantara di Bali dapat menjadi ruang untuk ikut membantu mempromosikan produk-produk pertanian lokal.

Sejalan dengan hal tersebut, saat ini Pemerintah Provinsi Bali sedang menyosialisasikan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali. Pergub ini diharapkan dapat menjadi katalis untuk meningkatkan daya saing petani Bali sekaligus upaya langsung untuk melindungi produk-produk lokal yang masih kewalahan bersaing dengan produk impor.

Dalam soft opening ini, Dinas Pertanian Provinsi Bali juga turut memberikan dukungannya. Mereka berharap bahwa hadirnya Gerai Nusantara dapat memacu mewujudkan upaya untuk memajukan produk pertanian dan industri lokal dari para petani di Bali.

 Undangan acara soft opening Gerai Nusantara / Dok: AMAN

Pembukaan ini diwarnai dengan pameran hasil karya kerajinan dari berbagai komunitas adat yang merupakan anggota AMAN. Sebagai unit usaha AMAN, Gerai Nusantara menjual berbagai kerajinan yang tidak sekadar bernilai ekonomis, tapi juga sebagai upaya langsung melestarikan kekayaan kultural yang beragam di berbagai kelompok Masyarakat Adat di Nusantara. Misi ini adalah salah satu perwujudan dari misi AMAN untuk mendorong Masyarakat Adat yang bermartabat dan tetap bangga dengan berbagai produk-produk budayanya.

Selain produk-produk dari Gerai Nusantara, acara soft opening ini juga ikut diramaikan dengan dukungan Jendranath, suatu warung/toko yang diisi oleh produk-produk dari mitranya Samdhana. Tidak jauh berbeda dengan Gerai Nusantara, Jendranath juga memasarkan beraneka ragam produk komunitas seperti minyak kelapa dan VCO dari Papua Barat, sagu dari Merauke Papua, olahan pangan lokal dan kopi serta seduhan teh spesial dan lainnya.

Titi Pangestu

AMAN Bali Bangkit, Rekrut Anggota Hingga ke Pelosok Komunitas Masyarakat Adat

Oleh Apriadi Gunawan

Setelah hampir 13 tahun tidak aktif, Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bali kembali bergeliat merekrut anggota hingga ke pelosok komunitas Masyarakat Adat atau desa adat.

Sejumlah komunitas Masyarakat Adat dilaporkan telah mendaftar menjadi anggota, sementara ada beberapa komunitas lainnya juga telah menghubungi untuk bergabung dengan AMAN Bali.

Pj Ketua PW AMAN Bali, Ni Made Puriati menyebut ada sekitar enam komunitas Masyarakat Adat yang telah menghubunginya untuk menjadi anggota AMAN. Keenamnya merupakan desa adat tua yang berlokasi di pelosok. Mereka bertanya apakah kalau kami masuk menjadi anggota AMAN, dapat terlayani.

“Saya katakan dapat terlayani kalau sesuai dengan program AMAN dan program AMAN sesuai dengan kebutuhan Masyarakat Adat,” kata Ni Made Puriati saat menceritakan pengalamannya dihubungi tetua adat dari beberapa komunitas yang ingin bergabung dengan AMAN Bali pada Rabu (5/7/2023).

Perempuan yang akrab dipanggil Denik ini menerangkan bahwa program AMAN ini telah disosialisasikan di Tenganan pada tanggal 26 Juni 2023. Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi beserta rombongan hadir dalam sosialisasi tersebut.

Denik menyebut 37 komunitas Masyarakat Adat dari seluruh Kabupaten di Bali hadir di acara sosialisasi tersebut. Dalam sosialisasi tersebut terungkap salah satu alasan ingin bergabung menjadi anggota AMAN karena tertarik dengan program pemetaan wilayah adat yang selama ini dijalankan oleh AMAN.

“Ini menjadi trigger mereka menghubungi saya,” katanya.

Denik menyatakan sejauh ini ada dua desa atau komunitas Masyarakat Adat yang sudah mendaftar menjadi anggota AMAN Bali. Keduanya sudah menyertakan dokumen berita acara dan profilnya.

Salah satunya adalah komunitas Masyarakat Adat dari desa Tenganan. Desa adat ini tergolong tua. Keberadaanya muncul sebelum ada ekspansi Kerajaan Majapahit ke Bali.

“Desa Tenganan ini merupakan desa adat tertua di Bali. Masyarakat Adatnya sudah ada  sebelum penjajahan Majapahit,” katanya.

Denik menambahkan sistem pemerintahan, budaya dan upacara yang ada di desa Tenganan  berbeda pada umumnya dengan di Bali. Mereka sudah ada sejak abad ke 11, jauh sebelum Majapahit ada di Bali.

“Ini salah satu keunikan desa adat Tenganan,” ujarnya.

Denik menjelaskan secara umum yang tertarik bergabung dengan AMAN adalah komunitas Masyarakat Adat dari desa-desa tua yang ada di Bali. Sementara desa yang sudah bercampur adat dengan modernitas belum sepenuhnya respeck. “Ini tantangan AMAN ke depan,” katanya.

Mandat dari Sekjen AMAN

Denik menerangkan bahwa dirinya diberi mandat oleh Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi untuk menghidupkan kembali AMAN di Bali. Dikatakannya, AMAN Bali sudah lama tidak aktif.

“Sejak tahun 2010, AMAN Bali sudah tidak aktif,” terangnya.

Denik menyebut AMAN Bali tidak pernah hadir dalam rapat dan Kongres. Sudah dua kali Bali tidak hadir di Kongres AMAN. Menyikapi hal ini, Pengurus Besar AMAN menunjuk dirinya  sebagai pejabat sementara untuk mengaktifkan kembali AMAN Bali.

“Tugas utama saya  adalah mengkonsolidasikan dan mensosialisasikan AMAN di Bali,” kata Denik.

Program ke depan

Denik menyebut salah satu program yang sudah dilakukannya usai menerima mandat dari Sekjen AMAN adalah mengunjungi komunitas Masyarakat Adat di desa yang sudah terpampang di AMAN pada periode 2009-2015. Ia mengaku ada beberapa desa adat yang masih bisa dikonsolidasikan kembali, namun ada juga yang menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan AMAN. “Ini sudah saya laporkan,” ujarnya.

Denik menyebut jumlah desa adat di Bali seluruhnya ada 1.493 desa adat. Ia sedang membuat dokumen tertulis untuk desa-desa adat yang ingin menjadi anggota AMAN. Denik mengaku tidak pernah memaksakan komunitas Masyarakat Adat dari desa tertentu untuk masuk menjadi anggota AMAN.

Menurutnya, keanggotaan AMAN adalah keanggotaan sukarela berdasarkan kesadaran. “Ini kesempatan kita untuk berjejaring dengan Masyarakat Adat se Nusantara. Bali tidak bisa menangani persoalannya sendiri, kita perlu berjejaring,” tegasnya.

Menurutnya, AMAN Bali bisa bangkit kalau ada anggotanya. Ia menyebut saat ini anggota AMAN Bali yang lama ada tujuh komunitas Masyarakat Adat. Namun, ia masih menunggu dokumen dari berita acara keanggotaan, kesanggupan menjadi anggota AMAN dan juga profil dari ketujuh komunitas tersebut.

Denik optimis AMAN Bali akan bisa aktif. Ia berharap  dalam waktu dekat AMAN Bali bisa menggelar Musyawarah Wilayah untuk menentukan kepengurusan dan membuat program kerja.

“Mudah-mudahan bisa dilakukan Muswil, nanti Muswil akan menentukan kepengurusan dan membuat program kerja,” terangnya.

 

ᴀᴅᴀᴛ ᴅᴀʟᴇᴍ ᴛᴀᴍʙʟɪɴɢᴀɴ

 

ᴅᴜʟᴜ, ᴋɪɴɪ, ᴅᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴀᴋᴀɴ ᴅᴀᴛᴀɴɢ

“𝘏𝘢𝘳𝘢𝘱 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘵𝘶𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪.

𝘈𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘦𝘭𝘢𝘬𝘶𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵, 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘪𝘢𝘨𝘢𝘮 𝘢𝘯𝘶𝘨𝘳𝘢𝘩 𝘗𝘢𝘥𝘶𝘬𝘢 𝘚𝘳𝘪 𝘔𝘢𝘩𝘢𝘳𝘢𝘫𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬 𝘋𝘦𝘴𝘢 𝘛𝘢𝘮𝘣𝘭𝘪𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘸𝘪𝘭𝘢𝘺𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘳𝘢𝘩𝘮𝘢𝘯𝘢, 𝘬𝘦𝘴𝘢𝘵𝘳𝘪𝘢, 𝘸𝘦𝘴𝘪𝘢, 𝘴𝘶𝘥𝘳𝘢, 𝘨𝘳𝘢𝘩𝘢𝘴𝘵𝘢 𝘸𝘪𝘬𝘶, 𝘭𝘢𝘬𝘪-𝘭𝘢𝘬𝘪, 𝘱𝘦𝘳𝘦𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯, 𝘩𝘢𝘮𝘣𝘢 𝘳𝘢𝘫𝘢, 𝘴𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢𝘵𝘪, 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘦𝘵𝘢 Ç𝘪𝘸𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘉𝘶𝘥𝘥𝘩𝘢, 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘥𝘪𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘉𝘩𝘢𝘵𝘢𝘳𝘢, 𝘢𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘪𝘢 𝘵𝘪𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘶𝘯𝘶𝘩, 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘯𝘨𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘪𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘥𝘢. 𝘗𝘶𝘵𝘢𝘳𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘵𝘢𝘳𝘪𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘶𝘴𝘶𝘴𝘯𝘺𝘢, 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘴𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢, 𝘵𝘢𝘳𝘪𝘬𝘭𝘢𝘩 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘨𝘪𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢, 𝘱𝘢𝘵𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢. 𝘏𝘢𝘣𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘪𝘸𝘢𝘯𝘺𝘢..”

Demikian kutipan dari prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Suradipha, raja Bali kuno pada tahun 1119 Masehi, yang merupakan anugrah Sri Maharaja kepada penduduk Tamblingan dan seluruh wilayahnya.

Kenapa sang Raja memberikan anugrah perlindungan kepada masyarakat dan wilayah Tamblingan?

Keistimewaan apa yang dimiliki oleh Masyarakat Adat Dalem Tamblingan?

“𝘑𝘢𝘯𝘪 𝘤𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘢𝘯𝘨 𝘎𝘢𝘮𝘢 𝘛𝘪𝘳𝘵𝘢𝘯𝘦 𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘏𝘪𝘯𝘥𝘶 𝘎𝘰𝘣𝘦𝘥, 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘩 𝘸𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘈𝘨𝘶𝘯𝘨, 𝘸𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘴𝘢, 𝘸𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘴𝘶𝘭…”

“Sekarang anakku lestarikan Gama Tirta nya di Gobleg, begitu pula balian Agung, balian sasa, balian susul…dst.”

Demikian kutipan dari Babad Hindu Gobed tentang bagaimana masyarakat Adat Dalem Tamblingan meninggalkan wilayah danau Tamblingan dan pindah menuju ke daerah dibawahnya untuk seterusnya bermukim disana.

Pada tulisan diatas, telah kita ketahui bagaimana Raja Sri Suradipa membuat prasasti pada abad ke 10, untuk melindungi kawasan Tamblingan beserta masyarakatnya.

Dan kemudian sekitar abad ke 14, masyarakat Adat Dalem Tamblingan memindahkan pemukimannya menuju daerah dibawahnya, yang kemudian menyebar hingga kini menjadi Catur Desa.

𝘒𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘯𝘥𝘢𝘩?

Dari kutipan babad diatas, disebutkan mengenai Gama Tirta yang merupakan kepercayaan masyarakat Adat Dalem Tamblingan yang menggunakan sarana Air (Tirta) sebagai dasar dari segala ritual, yang dalam bahasa kekinian kita sebut dengan “𝘔𝘦𝘮𝘶𝘭𝘪𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘪𝘳”

Gama Tirta tidak hanya dilakoni dalam hal ritual saja, tetapi juga dalam setiap laku, setiap hembusan nafas masyarakat kita. Karena air adalah sumber kehidupan.

Oleh karena itu, kawasan danau Tamblingan dan Alas Mertajati yang merupakan sumber air, tidak hanya bagi Catur Desa, tetapi juga hingga ke daerah hilir, harus dijaga kesucian dan kelestariannya dengan tidak menjadikannya sebagai daerah pemukiman.

Tidak hanya berhenti sampai disana. Kita sebagai masyarakat Adat Dalem Tamblingan, masyarakat Pemulia Air yang menjadikan Alas Mertajati sebagai sumber hidup yang sesungguhnya harus tetap menjaga spirit yang telah kita warisi dari para leluhur kita untuk tetap menjaga kesucian dan kelestarian Alas Mertajati.