Ritual Desa Adat Pedawa Berbasis Air

Oleh Komang Era Patrisya

Pedawa merupakan salah satu desa adat tertua di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali.  Sebelum bernama Pedawa, desa ini bernama Gunung Tambleg karena para leluhur desa berasal dari Tamblingan.

Desa Adat Pedawa merupakan salah satu desa tradisional yang masih mempertahankan tradisi dan nilai-nilai budaya Bali. Desa ini sudah ditemukan sejak zaman Megalitikum, terbukti di wilayah desa adat Pedawa ini ada ditemukan beberapa  sarkofah  (sarkofagus).

Ketua Komunitas Kayoman Pedawa, Putu Yuli menerangkan desa adat Pedawa memiliki beragam keunikan budaya dan juga ritual adatnya. Warga desanya merupakan masyarakat pemulia air. Putu Yuli menyatakan hal ini bisa dilihat dari ritual-ritual adat yang ada di desa adat Pedawa yang selalu berbasis pada air.

“Ritual ini disebut dengan istilah Gama Tirta,” ujarnya belum lama ini.

Putu Yuli menjelaskan ritual Gama Tirta ini dicirikan dengan penggunaan lebih dari 30 jenis nama air yang berbeda. Jenis-jenis air tersebut digunakan untuk kepentingan upacara dan  didapatkan dari sumber air di Pedawa.  Pada awal tahun 2023, sebutnya, desa adat Pedawa melakukan pemetaan titik sumber mata air. Hasilnya, ditemukan ada 85 titik sumber mata air yang tersebar di wilayah desa adat pedawa.

Ritual Penglukatan. Dokumentasi AMAN

Representasi Air dalam Tradisi Budaya Bali  

Putu Yuli mengungkap berdasarkan kajian komunitas Kayoman Pedawa, masing-masing jenis air memiliki fungsi yang berbeda dalam ritual adat Pedawa. Sumber airnya juga berbeda, ada dari sumur tradisional, ada dari pertemuan dua sungai, ada yang bersumber dari batu berlubang dan ada pula yang bersumber dari beberapa jenis bambu  yang ada di desa adat Pedawa.

Putu Yuli mencontohkan air  Yeh Cangkup yang bersumber dari pertemuan dua sungai memiliki fungsi sebagai sarana dalam upacara Ngeyehin Karang, Mecaru, Ngeluku dan Paileh Subak, sedangkan air  Yeh Empul Tiing Ampel Gadang (bambu Ampel Hijau) yang bersumber dari bambu ampel digunakan dalam upacara Ngeyehin Karang dan Mecaru dalam ritual adat Pedawa.

Putu Yuli, yang juga bagian dari tim penyusun modul sekolah adat Pedawa menerangkan dalam proses penyusunan modul sekolah adat, tim penyusun berhasil menemukan nama-nama air lain, sehingga saat ini sudah ada 33 nama air yang berhasil di data.

Berikut nama-nama air yang digunakan dalam ritual adat desa Pedawa :

  • Yeh  Cap-Capan adalah air yang menetes keluar dari sumber mata air tanah sekitar lingkungan.
  • Yeh Semer adalah air yang terkumpul pada bulakan atau sumur.
  • Yeh Empul Tiing Bali adalah air yang di dapatkan dari rongga bambu Bali
  • Empul  Tiing  Buluh adalah  air  yang di dapatkan dari  rongga bambu Buluh
  • Yeh  Anyar  adalah air bersih diperoleh  langsung  dari sumber  mata air atau  tempat penampung berupa gentong air.
  • Yeh Kelungah Yuh Gading adalah  air yang diperoleh dari buah kelapa gading  yang muda.
  • Yeh Bebengan  Basih adalah air laut yang terkurung pada satu kubangan dekat laut di kala pasang dan tersisa di kala surut.
  • Yeh  Pasih adalah  air laut  yang diambil untuk upacara adat di desa Pedawa
  • Yeh Nakti  adalah air yang didapatkan ketika turun hujan pertama  setelah kemarau panjang. Jenis air ini didapatkan dengan cara menampung cucuran air dari atap rumah.
  • Yeh Bebengan Danu adalah air danau yang terperangkap di sekitar gundukan danau. Jenis air ini biasanya terperangkap melalui proses pasang surut air danau.
  • Yeh Danu adalah  air yang diperoleh dari danau atau air yang terkumpul di dalam cekungan alami atau buatan yang dikelilingi daratan di semua sisinya.
  • Yeh Empul Tiing Ampel  Gadang adalah air didalam bambu ampel yang didapatkan dari dalam bambu apel warna hijau.
  • Yeh Klungah Nyembulung adalah air kelapa dari jenis Kelapa Nyembulung. Jenis kelapa ini bisanya memiliki ciri berwana merah tengahnya (tempurung dan sabut) ketika dikupas.
  • Yeh Klungan Sudamala adalah air kelapa yang diperlolah dari jenis Kelapa Sudamala. Ciri kelapa ini bagian dabut dan tempurungnya berwarna poleng.
  • Yeh  Cangkup  adalah air yang diambil  dari pertemuan dua aliran  sungai.
  • Yeh  Belaan Tukad adalah air yang diperoleh dari aliran sungai yang didalamnya terbentuk sideman atau endapan yang membuat aliran sungai tersebut seolah terbelah menjadi dua.
  • Yeh Mara Tumbuh adalah air yang didapatkan dari pangkal keluarnya dalam tanah. Jenis air ini biasanya ada di sekitaran tebing.
  • Yeh Golong adalah air yang didapatkan dari  sumber air dan dialirkan dalam bentuk pancuran yang dibuat dengan sistem golong yaitu sistem penggunaan air buka tutup, dimana saat digunakan akan dibuka dan saat tidak digunakan akan ditutup. Golong biasanya dibuat dari bambu besar yang dibuat lobang pada pangkal (buku) bambu.
  • Yeh Pancuan adalah air yang didapatkan dari pancuran. Biasanya air ini ada pada sumber air yang alirkan ke bambu sebagai pancuran.
  • Yeh Apit Munduk adalah air yang diperoleh dari dua sumber air yang berada dalam satu bentang alam yang disebut sebagai mundukan. Biasanya bentang alam ini sedikit menonjol dibandingkan dengan daratan sekitarnya. Sumber air yang ada di kedua sisinya dianggap suci yang dapat digunakan untuk kepentingan ritual di desa Pedawa.
  • Yeh  Kurung  adalah air konat yang terkurung dalam lapisan batuan purba. Air ini biasanya berbentuk kubangan kecil yang tidak pernah habis jika diambil.
  • Yeh Kali Munyeng adalah air yang yang mengalir seperti pusaran. Air ini hanya ada di  lokasi Kayuan Mayung
  • Yeh Paung Bun adalah  air yang diperoleh dari lobang yang terbentuk dari  gabungan atau perpaduan akar kayu besar atau tanaman merambat yang saling bergelut membentuk simpul-simpul berlobang.
  • Yeh Paung Kayu adalah air yang berasal dari pohon besar yang berisi lubang, jenis  kayu  yang paling banyak yaitu ficus.
  • Yeh Lembua adalah air yang dibuat dari campuran air dan nasi dingin.
  • Yeh Sudamala adalah air yang bersal dari sumber mata air gelunggang.
  • Yeh Tibu Rama adalah air yang berasal dari kolam tua yang ada di pura Telaga Waja yang bernama Tibu Rama.  Tibu ini dianggap keramat oleh warga desa Pedawa.
  • Empul Tiing Liplip adalah air yang diperoleh dari jenis bambu Liplip. Bambu ini adalah jenis bambu kecil seperti tanaman merambat. Air dalam ruas bambu ini dianggap bertuah sehingga digunakan dalam berbagai ritual desa  Pedawa yang terkait dengan padi.
  • Yeh Tunggak adalah air yang didapatkan dari tonggak bambu yang telah dipotong. Potongan bambu tersebut bisanya menampung air hujan atau embun yang mengumpul.
  • Yeh Paung Batu adalah air yang berasal dari batu besar yang berlobang dan di dalamnya berisi air.
  • Yeh Beten Titi adalah air yang diambil dari bawah jembatan. Air ini biasanya digunakan untuk pengelukatan
  • Yeh Kayuan Sabih adalah air yang bersal dari sumber mata air kayuan sabih
  • Yeh  Kayan Desa adalah air yang berasal dari sumber mata air kayuan desa atau pura dalem

Wayan Sadyana, yang baru saja diangkat sebagai Kepala Sekolah Adat Desa Pedawa mengatakan bahwa penggunaan air dan sumber-sumber airnya adalah bentuk spirit konservasi di desa Pedawa. Dikatakannya, air harus tetap ada karena berkaitan dengan ritual dan jenis-jenis air tersebut tidak dapat digantikan.

“Masyarakat Adat Pedawa sangat menghormati keberadaan air, selain sebagai sarana upacara juga untuk kelestarian alam,” terangnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Bali

Memetakan Wilayah Adat Les Penuktukan, Melindungi Sumber Kehidupan Masyarakat Adat

Sosialisasi Pemetaan Partisipatif Desa Adat Les Penuktukan

Oleh Komang Era Patrisya

Pemetaan desa adat di Bali menjadi keharusan untuk mewujudkan desa adat yang berdaulat atas ruang hidup, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Pemetaan wilayah adat menjadi salah satu mandat organisasi. Pemetaan wilayah adat menjadi langkah pertama sebagai bagian dari perjuangan Masyarakat Adat untuk melindungi wilayah adat.

Penyarikan Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Ketut Sumarta, dalam acara sosialisasi pemetaan partispatif di Desa Adat Les Penuktukan belum lama ini menyampaikan tentang pentingnya kedaulatan Masyarakat Adat tas ruang hidupnya.

Ketut Sumarta menegaskan pentingnya pemetaan desa adat di Bali. Ia menekankan tidak ada sejengkal tanah pun di Bali yang tidak dipetakan menjadi wewidangan desa adat. Untuk mewujudkan hal ini, sebut Ketut Sumarta, Majelis Desa Adat mempunyai program utama untuk melakukan pendampingan terhadap desa adat guna melakukan pemetaan agar ke depannya masing-masing desa adat memiliki peta geo-spasial.

“Semua ini kita lakukan terkait dengan kesucian, tidak hanya tentang motif ekonomi,” jelasnya.

Ida Bagus Dana dari Dinas Pekerjan Umum Penataan Ruang Bali menyarankan apabila  melakukan pemetaan, sebaiknya adakan koordinasi yang baik dengan desa penyanding terkait dengan batas-batas pantai, batas-batas hutan. Menurutnya, ini sangat penting untuk dilakukan sehingga menghasilkan keputusan batas yang pasti agar ke depannya tidak terjadi masalah.

Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo menjelaskan bahwa dalam proses pemetaan partisipatif, ada tiga proses yang biasanya dilakukan. Pertama, sosialisasi. Pada tahap sosialisasi ini, sebut Kasmita, penting dilakukan koordinasi dengan pihak yang terlibat dan terkait dengan lokasi pemetaan desa adat.

Setelah itu, imbuhnya, tahap proses yang kedua adalah pelaksanaan dan yang terakhir barulah tahap pengolahan data dan penyajian hasil.

“Semua proses ini dilakukan dengan menghadirkan atau melibatkan desa adat yang bersandingan, termasuk juga dengan pemerintah,” ujar Kasmita disela acara sosialisasi pemetaan partisipatif di Desa Adat Les Penuktukan.

Pemetaan di Wilayah Adat Les Penuktukan
Masyarakat Adat Desa Les Penuktukan menyambut baik sosialisasi pemetaan wilayah adat. Jro Pasek, salah seorang perwakilan dari Desa Adat Les Penuktukan berterimakasih atas sosialisasi yang dilakukan. Ia juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada AMAN Bali yang akan mendampingi pemetaan wilayah adat Desa Adat Les Penuktukan.

Jro Pasek berharap Desa Adat Les Penuktukan bisa menjadi contoh bagi desa-desa adat lain yang belum melakukan pemetaan wewidangan desa adat. “Semoga ini langkah yang baik untuk pemetaan desa adat Les Penuktukan dan desa adat lainnya di Bali,” katanya penuh harap.

Dalam pemetaan partisipatif ini, Desa adat Les Penuktukan melibatkan 24 orang yang turut serta dalam pemetaan spasial dan pemetaan sosial budaya, 12 orang berasal dari desa Les dan 12 orang berasal dari desa Penuktukan yang terdiri dari Peduluan desa, prajuru adat, dan juga kelian banjar adat.

Desa Adat Les Penuktukan adalah desa adat tertua di Kecamatan Tejakula, Kebupatan Singaraja, Bali. Di mana dalam satuan wilayah adat ini terdiri dari dua banjar adat atau desa dinas yaitu: Les dan Penuktukan. Masing-masing Banjar adat mengelompokkan lagi ke dalam satuan sosial yang lebih kecil yang disebut dengan “Tempek”. Di Banjar Adat Les terdapat 33 tempek, dan di Banjar Adat Penuktukan terdapat 27 Tempek.

Wewidangan Desa Adat Les – Penuktukan merupakan kesatuan komunitas Masyarakat Adat yang tumbuh berkembang serta memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli yang mengatur rumah tangganya sendiri.

Desa adat Les – Penuktukan berdasarkan bukti petunjuk yang ada dapat diklasifikasikan sebagai Desa Adat Baliaga, yang diperkirakan sudah ada sejak sebelum abad ke-8. Beberapa bukti petunjuk di antaranya dapat dilihat dari keberadaan sejumlah Pura Kahyangan Desa dan Kahyangan Tiga.  Yang membedakan dengan desa adat lainnya adalah dengan adanya prasasti yang tersimpan di Pura Sanggah Desa atau Merajan Desa berangka Tahun Saka Warsa 829 ( Masehi 907).

Bukti lain yang menandakan Desa Adat Les – Panuktukan sebagai Desa Adat Tua Bali Apanaga adalah dilihat dari sistem pemerintahannya yang dipimpin oleh paduluan desa yang dipilih secara ngeririg saketurunan krama nem likur yang artinya sitem pergantiannya berurutan dari 26 orang yang menjadi perangkat adat, misal ada salah satu 26 perangkat adat yang meninggal, maka keturunan langsung yang akan menggantikan tetapi akan memulai dari posisi yang paling bawah, ngeririg disini bisa diartikan berurutan secara siklus dari yang paling bawah naik ke atas, yang atas kembali ke bawah. Sedangkan Paduluan Jro Pasek dipilih melalui musyawarah dan Jro Penyarikan dipilih dari keturunnya yang langsung menjadi Penyarikan.

Kedudukan dan Keputusan Paduluan Desa bersifat kolektif kolegial, yang artinya sistem kepemimpinan yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam mengeluarkan keputusan atau kebijakan melalui mekanisme musyawarah atau pemungutan suara. Sistem ini mengedepankan semangat kebersamaan dan koordinasi antara satu pimpinan dengan pimpinan lainnya.

Wilayah Adat Sumber Kehidupan

Selain berada di ketinggian, wilayah Desa Adat Les – Penuktukan juga berada di wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan laut. Dalam filosofi bali disebut dengan “ Nyegara Gunung”. Di mana keberadaan gunung (dalam hal ini adalah hutan) dan laut berjarak cukup dekat. Antara laut (segara) dan gunung (hutan) adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh karena itu setiap tindakan yang dilakukan di gunung (hutan) akan berdampak pada laut (segara). Demikian pula sebaliknya.

Di desa adat Les Penuktukan ada sebuah ritual yang disebut Labuh Gentuh. Ngelabuh Gentuh adalah prosesi ritual tawur yang bertujuan untuk memohon keharmonisan alam. Prosesi ini menggunakan sarana upacara berupa hewan kurban, fungsi upacara sesungguhnya mengingatkan umat agar selalu melakukan atau menjaga kelestarian alam. Selain itu, Desa Adat Les Penuktukan setiap satu tahun sekali melakukan ritual adat yang disebut dengan sedekah laut sebagai wujud terima kasih masyarakat kepada laut yang telah memberi penghidupan. Upacara ini dilakukan oleh seluruh keluarga nelayan dengan bersembahyang di pura dalem dengan menyajikan babi guling dan berbagai sesajen lainnya yang kemudian dihanyutkan ke laut.

Karena berada di wilayah gunung dan pesisir, mayoritas warga desa adat les penuktukan adalah petani dan nelayan. Desa adat Les Penuktukan sendiri memiliki Sumber Daya alam yang sangat melimpah, beberapa sumber penghidupan warga Desa Adat Les Penuktukan adalah kelapa, coklat, cengkeh, mangga, rambutan, lontar (diolah menjadi gula juruh, tuak dan arak), aren (diolah menjadi gula aren, tuak, dan arak). garam, ikan laut.

Selain itu, ada banyak sumber pangan di desa adat Les Penuktukan, ada pula beberapa tanaman obat. Di antaranya adalah kantawali atau brotowali untuk mengobati rematik, kecibeling untuk menurunkan gula darah, jambu biji merah untuk menaikkan trombosit darah, sembung untuk obat penurun panas dan demam.

Ada pula tanaman jarak yang berfungsi sebagai obat sakit gigi, mengkudu untuk mengobati panas dalam, sambiroto untuk penurun panas, jahe untuk mengobati masuk angin, kencur untuk mengobati penyakit batuk. Kunyit bisa digunakan untuk mengobati penyakit maag, daun delima biasanya untuk mengobati panas dalam, sementara daun intaran sebagai antiseptik. Lidah buaya untuk penyubur rambut, daun nangka kuning untuk masker, boreh untuk ibu menyusui, dan masih banyak lagi.

***

Menurut Jro Pasek, desa adat perlu memiliki data dan peta, baik peta wewidangan maupun peta potensi. Dengan adanya data dan peta yang akurat, sebutnya, desa adat akan dapat membangun perencanaan yang lebih baik untuk menjamin kedaulatan atas ruang hidup dan penghidupan bagi Masyarakat Adat setempat.

Oleh karena itu, Desa Adat Les Penuktukan sebagai salah satu anggota AMAN Bali dengan dukungan program kerja dari Pengurus Besar AMAN, akan melakukan pemetaan wewidangan desa adat untuk memastikan kejelasan batas-batas dan potensi yang dimiliki baik peta fisik/spasial maupun peta sosial budaya secara partisipatif oleh Masyarakat Adat Desa Adat Les Penuktukan.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Bali

Masyarakat Adat Bali Perjuangkan Alas Mertajati Sebagai Hutan Adat

Oleh Komang Era Patrisya

“Masyarakat Adat Dalem Tamblingan menjaga Alas Mertajati bukan hanya untuk kami, tapi juga untuk Masyarakat Bali.”

Pernyataan ini disampaikan oleh seorang anak muda dari komunitas Masyarakat Adat Dalem Tamblingan dalam diskusi “Mempertahankan Hak dan Ruang Hidup,” di Taman Baca Kesiman, Denpasar, pada 10 Desember 2023.

Anak muda bernama Komang Era Patrisya ini menceritakan bagaimana perjuangan Masyarakat Adat Dalem Tamblingan dalam memperjuangkan Alas Mertajati menjadi hutan adat.

Komang menyatakan kondisi hutan yang disebut Alas Mertajati tersebut meskipun terlihat asri, namun sesungguhnya sedang tidak baik-baik saja. Banyak terjadi penebangan hutan dan juga pemburuan liar di Alas Mertajati. Dikatakannya, Alas Mertajati merupakan sumber kehidupan bagi Masyarakat Adat Dalem Tamblingan.

“Alas Mertajati merupakan bagian dari Cagar Alam Batu Karu yang merupakan penyuplai 1/3 air di Bali,” ungkapnya.

Komang menjelaskan sejak ribuan tahun lalu, Alas Mertajati telah menjadi kawasan yang disucikan dan dijaga kelestariannya oleh leluhur Masyarakat Adat Dalem Tamblingan di Bali.

“Kami ingin Alas Mertajati lestari selamanya,” tandasnya.

Pernyataan Komang ini mendapat dukungan dari perwakilan Masyarakat Adat dari berbagai desa yang hadir di acara diskusi dalam rangka peringatan Hari HAM 2023. Peringatan hari HAM di Bali dilaksanakan selama dua hari yaitu 3 Desember dan 10 Desember 2023, dengan mengambil tema “HAM di Pulau Surga: Rintangan, Perjuangan, dan Harapan”.

Di acara yang melibakan AMAN Bali ini, banyak perwakilan Masyarakat Adat yang menyampaikan pengalaman mereka dalam memperjuangkan ruang hidupnya. Seperti di TWA Gunung Batur Bukit Payang, di mana petani yang telah lama tinggal turun temurun di hutan terancam tergusur oleh pengusaha wisata yang mendapat izin konsesi kawasan hutan.

Selain itu, ada juga cerita dari perwakilan Masyarakat Adat di Desa Bugbug Karangasem yang sedang mempertahankan kawasan suci mereka dari pembangunan resort.

PJ Ketua PW AMAN Bali, Ni Made Puriati menyatakan kegiatan peringatan hari HAM ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran atas kasus pelanggaran HAM dan pentingnya perlindungan HAM di Bali.

Selain itu, melalui kegiatan ini mereka ingin mengajak publik untuk ikut dalam memperjuangkan HAM serta bersolidaritas pada penyintas kekerasan dan pelanggaran HAM di Bali. Kemudian, turut menyuarakan desakan kepada pemerintah, aparat penegak hukum, dan pihak berwenang lainnya untuk menjamin dan memastikan penyelenggaraan pemerintahan untuk kembali pada HAM dan konstitusi.

Ni Made Puriati menerangkan sejak AMAN Bali diaktifkan kembali pada April 2023, berbagai kegiatan telah mereka lakukan, baik sebagai penyelenggara maupun sebagai pihak yang diundang atau berkolaborasi dalam sebuah kegiatan bersama. Ni Made menyebut seperti kegiatan peringatan HAM di bulan Desember 2023.

“Penting bagi AMAN Bali mulai terlibat aktif dalam berbagai kegiatan, terutama yang sejalan dengan visi dan misi AMAN,” terangnya.